Sabtu, 20 Oktober 2012

potoku





///#saat bersama dikelass :D
gak berpikir yahh dikelass poto poto
diambilnya kan gak ada dosenn ...hhe
ini waktu tingkat II

gak kerasa udah tk.II aja
banyak banget yang udah dilalui sama sama
dari awal masuk , satu kamar , satu kamar mandi , satu ruang makan , satu kelass , ngeliad dari bangun tidur lagi ..
pokonya banyak banget kjadian yang tak terlupakan bareng nak asrama dari kjadian yang kcil ampe yang gede...
dari nangis breng ampe ktawa bareng...
marahan , bcandaan , saingann , udah dirasain semuaa...
lopz you so muchh buat kaliandd :)


konsep dokumentasi kebidanan


KONSEP DOKUMENTASI

Secara umum, dokumentasi merupakan suatu catatan otentik atau dokumen asli yang dapat dijadikan bukti dalam persoalan hukum.
Sedangkan dokumentasi kebidanan merupakan bukti pencatatan dan pelaporan berdasarkan komunikasi tertulis yang akurat dan lengkap yang dimiliki oleh bidan dalam melakukan asuhan kebidanan dan berguna untuk kepentingan klien, tim kesehatan, serta kalangan bidan sendiri.
                Pendokumentasian dari asuhan kebidanan di Rumah sakit dikenal dengan istilah rekam medik. Dokumentasi kebidanan menurut SK MenKes RI No 749 a adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen yang berisi tentang isentitas: Anamnesa, pemeriksaan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seseorang kepada seorang pasien selama dirawat di Rumah Sakit yang dilakukan di unit-unit rawat termasuk UGD dan unit rawat inap.
Dokumentasi berisi dokumen/pencatatan yang memberi bukti dan kesaksian tentang sesuatu atau suatu pencatatan tentang sesuatu.
Dokumentasi kebidanan sangat penting bagi bidan dalam memberikan asuhan kebidanan. Hal ini karena asuhan kebidanan yang diberikan kepada klien membutuhkan pencatatan dan pelaporan yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menuntut tanggung jawab dan tanggung gugat dari berbagai permasalahan yang mungkin dialami oleh klien berkaitan dengan pelayanan yang diberikan.
Selain sebagai sistem pencatatan dan pelaporan, dokumentasi kebidanan juga digunakan sebagai informasi tentang status kesehatan pasien pada semua kegiatan asuhan kebidanan yang dilakukan oleh bidan. Di samping itu, dokumentasi berperan sebagai pengumpul, penyimpan, dan desiminasi informasi guna mempertahankan sejumlah fakta yang penting secara terus-menerus pada suatu waktu terhadap sejumlah kejadian Dengan kata lain, sebagai suatu keterangan, baik tertulis maupun terekam, mengenai identitas, anamnesis, penentuan fisik laboratorium, segala diagnosis pelayanan dan tindakan medis yang diberikan kepada pasien, serta pengobatan rawat inap dan rawat jalan maupun pelayanan gawat darurat.
A.      Tujuan dan Fungsi

·         Tujuan dokumentasi kebidanan
 Sebagai sarana komunikasi melalui tulisan yang bersifat permanen , komunikatif, teliti, dan lengkap yang berguana untuk :
a. Mengurangi kesalahan dan meningkatkan ketelitian dalam asuhan kebidanan
b. Keefektifan waktu sehingga tidak ada tumpang tindih tugas
2. Sebagai mekanis mempertanggung jawabkan kwalitas dan kebenaran asuhan
3. Sebagai metode pengumpulan data nyang dibuat secara kronologis pengkajian
4. Sebagai saran pelayanan kebidanan
5. Audit untuk memantau kwalitas pelayanan yang diterima klien ( sesuai saran evaluasi utuk klien terhadap asuhan yang dilaksanakan
6. Sebagai sarana untuk meningkatkan disiplin ilmu dalam Tim pelayanan kesehatan ( Metode Pengembangan IPTEK )

·         Fungsi dokumentasi kebidanan

Dokumentasi kebidanan memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut:
1.    Aspek administrasi, terdapatnya dokumentasi kebidanan yang berisi tentang tindakan bidan, berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan paramedis dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.
2.     Aspek meths, dokumentasi yang berisi catatan yang dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan atau perawatan yang harus diberikan kepada pasien.
3.    Aspek hukum, melalui dokumentasi maka terdapat jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan, sama halnya dalam rangka usaha menegakkan hukum dan penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan, karena semua catatan tentang pasien merupakan dokumentasi resmi dan bernilai hukum. Hal tersebut sangat bermanfaat apabila dijumpai suatu masalah yang berhubungan dengan profesi bidan, di mana bidan sebagai pemberi jasa dan pasien sebagai pengguna jasa, maka dokumentasi diperlukan sewaktu-waktu, karena dapat digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, maka dalam pencatatan data, data harus diidentifikasi secara lengkap, jelas, objektif dan ditandatangani oleh bidan.
4.     Aspek keuangan, dengan adanya dokumentasi data atau informasi baik tentang tindakan serta perawatan pada pasien, dokumentasi dapat dipergunakan sebagai dasar untuk perincian biaya atau keuangan.
5.     Aspek penelitian, dokumentasi kebidanan berisi data atau informasi pasien. Hal ini dapat dipergunakan sebagai data dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan melalui studi dokumentasi.
6.     Aspek pendidikan, dokumentasi kebidanan berisi data informasi tentang perkembangan kronologis dan kegiatan pelayanan medik yang diberikan kepada pasien. Maka informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan atau referensi pendidikan.
7.     Aspek dokumentasi, berisi sumber informasi yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban dalam proses dan laporan pelayanan kesehatan.
8.    Aspek jaminan mutu, pengorganisasian data pasien yang lengkap dan akurat melalui dokumentasi kebidanan akan memberikan kemudahan bagi bidan dalam membantu menyelesaikan masalah pasien. Pencatatan data pasien yang lengkap dan akurat akan memberi kemudahan bagi bidan dalam membantu penyelesaian masalah pasien. Selain itu, juga untuk mengetahui sejauh mana masalah pasien dapat teratasi dan seberapa jauh masalah baru dapat diidentifikasi dan dimonitor melalui catatan yang akurat. Hal ini akan membantu untuk meningkatkan mutu asuhan kebidanan.
9.     Aspek akreditasi, melalui dokumentasi akan tercermin banyaknya permasalahan pasien yang berhasil diatasi atau tidak. Dengan demikian, dapat diambil suatu kesimpulan tentang tingkat keberhasilan pemberian asuhan kebidanan yang diberikan guna pembinaan lebih lanjut. Selain itu, dapat dilihat sejauh mana peran dan fungsi bidan dalam memberikan asuhan kebidanan pada pasien. Melalui akreditasi pula kita dapat memantau kualitas layanan kebidanan yang telah diberikan sehubungan dengan kompetensi dalam melaksanakan asuhan kebidanan.
10. Aspek statistik, informasi statistik dari dokumentasi dapat membantu suatu institusi untuk rnengantisipasi kebutuhan tenaga dan menyusun rencana sesuai dengan kebutuhan.
11. Aspek komunikasi, komunikasi digunakan sebagai koordinasi asuhan kebidanan yang diberikan oleh beberapa orang untuk mencegah pemberian informasi yang berulang-ulang kepada pasien oleh anggota tim kesehatan, mengurangi kesalahan dan meningkatkan ketelitian dalam asuhan kebidanan, membantu tenaga bidan untuk menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, serta mencegah kegiatan yang tumpang tindih. Sebagai alat komunikasi, dokumentasi dapat mewujudkan pemberian asuhan kebidanan yang terkoordinasi dengan baik.

B.      Prinsip Dokumentasi

Dalam melakukan dokumentasi asuhan kebidanan, kita perlu mengetahui aturan atau prinsip umum dalam pembuatan dokumentasi kebidanan agar dapat terlaksana secara efektif dan efisien. Sebelum prinsip-prinsip tersebut diterapkan, ada beberapa persyaratan dokumentasi kebidanan yang perlu diketahui, di antaranya sebagai berikut
Pertama, kesederhanaan. Penggunaan kata-kata yang sederhana, mudah dibaca, mudah dimengerti, dan menghindari istilah yang sulit dipahami.
Kedua, keakuratan. Data yang diperoleh harus benar-benar akurat berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan. Selain itu, terdapat kejelasan bahwa data yang diperoleh berasal dari pasien. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan yang otentik dan akurat serta terhindar dari kesimpulan yang menyimpang.
Ketiga, kesabaran. Gunakan kesabaran dalam membuat dokumentasi kebidanan dengan meluangkan waktu untuk memeriksa kebenaran terhadap data pasien yang telah atau sedang cliperiksa.
Keempat, ketepatan. Ketepatan dalam pendokumentasian merupakan syarat mutlak. Untuk memperoleh ketepatan diperlukan ketelitian dan penggunaan seperti penilaian gambaran klinis pasien, hasil laboratorium, pemeriksaan tambahan, pencatatan terhadap setiap perubahan rencana tindakan, pelayanan kesehatan, observasi yang dilakukan pada lembar atau bagan yang ditentukan, dan kesesuaian hasil pemeriksaan dengan hasil atau instruksi dokter dan tenaga kesehatan lainnnya, di mana setiap kesalahan dikoreksi dengan baik dan pada tanda bukti pencantuman ditandatangani oleh pihak-pihak yang berwenang.
Kelima, kelengkapan. Pencatatan terhadap semua pelayanan yang diberikan, tanggapan bidan, tanggapan pasien, alasan pasien dirawat, kunjungan dokter dan tenaga kesehatan lainnya beserta advisnya yang terdiri dari 5 atau 7 tahap asuhan kebidanan.
Keenam, kejelasan dan keobjektifan. Dokumentasi kebidanan memerlukan kejelasan dan keobjektifan dari data-data yang ada, bukan merupakan data fiktif dan samar yang dapat menimbulkan kerancuan. Data untuk dokumentasi kebidanan harus logis, jelas, rasional, kronologis, serta mencantumkan nama dan nomor register. Penulisan dimulai dengan huruf besar dan setiap penulisan data memiliki identitas dan waktu.
Setelah mengetahui persyaratannya, perlu diketahui pula beberapa prinsip dalam aplikasi dokumentasi kebidanan, di antaranya sebagai berikut

1.          Dokumentasikan secara lengkap tentang suatu masalah penting yang bersifat klinis.
Dokumentasi kebidanan bertujuan untuk menyampaikan informasi penting tentang pasien. Rekam medis dipergunakan dalam pendokumentasian asuhan kebidanan untuk memenuhi kewajiban profesional bidan dalam mengomunikasikan informasi penting. Data dalam catatan tersebut harus berisi informasi spesifik yang memberi gambaran tentang kondisi pasien dan pemberian asuhan kebidanan, juga tentang evaluasi status pasien.
2.         Lakukan penandatanganan dalam setiap pencatatan data. Setiap kali melakukan pencatatan, perlu dicantumkan nama bidan yang bertugas serta waktu pencatatan.
3.       Tulislah dengan jelas dan rapi.
Tulisan yang jelas dan rapi akan menghindarkan kita dari kesalahan persepsi. Selain itu, dapat menunjang tujuan dari pendokumentasian, yakni terjalinnya komunikasi dengan tim tenaga kesehatan lain. Tulisan yang tidak jelas dan tidak rapi akan menimbulkan kebingungan serta menghabiskan banyak waktu untuk dapat rnemahaminya. Lebih bahaya lagi dapat menimbulkan cedera pada pasien jika ada informasi penting yang disalahartikan akibat ketidakjelasan tulisan tangan.
4.        Gunakan ejaan dan kata baku serta tata bahasa medis yang tepat dan umum.
Pencatatan yang berisi kata-kata yang salah dan tata bahasa yang tidak tepat akan memberi kesan negatif kepada tenaga kesehatan lain. Hal tersebut juga menunjukkan kecerobohan dalam pendokumentasian. Apabila muncul gugatan akan sulit dicari kebenarannya karena tidak adanya bukti yang jelas. Untuk menghindari kesalahan dalam penggunaan kata baku, dapat dilakukan dengan menggunakan kamus kedokteran, kebidanan atau keperawatan, menuliskan daftar kata yang sering salah eja, ataupun menuliskan kalimat yang sering tidak jelas maknanya. Hindari penggunaan kata-kata yang panjang, tidak perlu, dan tidak bermanfaat. Selain itu, identifikasi dengan jelas subjek dari setiap kalimat.
5.        Gunakan alat tulis yang terlihat jelas, seperti tinta untuk menghindari terhapusnya catatan. Dalam pencatatan, penggunaan alat tulis yang baik dengan tinta, baik hitam ataupun biro, dapat membantu tidak terhapusnya catatan. Bila menggunakan alat tulis yang bersifat mudah terhapus dan hilang seperti pensil, akan dapat menimbulkan kesalahan-kesalahan interpretasi dalam pencatatan.
6.         Gunakan singkatan resmi dalam pendokumentasian.
Sebagian besar rumah sakit atau pelayanan kesehatan mempunyai daftar singkatan yang disepakati. Daftar ini harus tersedia bagi seluruh petugas kesehatan yang membuat dokumentasi dalam rekam medis, baik tenaga medis maupun mahasiswa yang melakukan praktik di institusi pelayanan.
7.         Gunakan pencatatan dengan grafik untuk mencatat tanda vital.
Catatan daim bentuk grafik dapat digunakan sebagai pengganti penulisan tanda vital dari laporan perkembangan. Hal ini memudahkan pemantauan setiap saat dari pasien terkait dengan perkembangan kesehatannya.
8.         Catat nania pasien di setiap halaman.
Pencatatan nama pasien pada setiap halaman ‘bertujuan untuk mencegah terselipnya halaman yang salah ke dalam catatan pasien dengan cara memberi stempel atau label pada setiap halaman dengan menginformasikan identitas pasien.
9.         Berhati-hati ketika mencatat status pasien dengan HIV/AIDS. Hal ini berkaitan dengan adanya kerahasiaan pada hasil tes HIV/AIDS di beberapa negara yang dilindungi oleh undang-undang. Saat ini, hanyak tempat pelayanan kesehatan yang tidak mencantumkan informasi tentang status HIV/AIDS positif dalam status pasien atau rekam medis, termasuk di kardeks/catatan rawat jalan, atau catatan lain.
10.     Hindari menerima instruksi verbal dari dokter melalui telepon, kecuali dalam kondisi darurat.
Mengingat banyaknya kesalahan dalam pendokumentasian melalui telepon karena ketidakjelasan penyampaian, maka sebaiknya hal ini dihindari. Akan tetapi, dalam situasi tertentu ketika tindakan yang diberikan kepada pasien harus melalui kewenangan dokter, sedangkan dokter tidak berada di tempat, maka dapat dilakukan komunikasi melalui telepon. Namun dalam prosesnya dilanjutkan secara tertulis.
11.     Tanyakan apabila ditemukan instruksi yang tidak tepat. Bidan hendaknya selalu memiliki kemampuan berpikir kritis dan memiliki analisis yang tajam. Apabila muncul ketidakjelasan dalam menerima instruksi atau tugas limpahan dari dokter, bidan sangat dianjurkan untuk bertanya tentang kejelasannya untuk menghindari terjadinya kesalahan persepsi
12.  Dokumentasi terhadap tindakan atau obat yang tidak diberikan. Segala bentuk tindakan atau obat-obatan yang tidak boleh diberikan kepada pasien atau harus dihentikan pemakaiannya harus didokumentasikan secara lengkap disertai dengan alasan yang lengkap, untuk menentukan tindakan selanjutnya.
13.  Catat informasi secara lengkap tentang obat yang diberikan. Mencatat segala bentuk manajemen obat pada pasien adalah suatu hal yang harus dilakukan dalam proses dokumentasi kebidanan. Di antaranya tentang, jenis obat, waktu pemberian obat, dan dosis obat.
14.  Catat keadaan alergi obat atau makanan.
Pendokumentasian keadaan alergi obat atau makanan tertentu sangat penting karena menghindari tindakan yang kontraindikasi dapat memberikan informasi yang berguna untuk tindakan antisipasi.
15. Catat daerah atau tempat pemberian injeksi atau suntikan. Seluruh daerah tempat suntikan atau injeksi juga perlu didokumentasikan. Hal ini karena tempat atau area suntikan yang tidak diketahui dapat menimbulkan dampak yang tidak diketahui sebelumnya seperti adanya cedera atau lainnya.
16.  Catat hasil laboratorium yang abnormal.
Mencatat hasil laboratorium yang abnormal, sangat penting karena dapat menentukan tindakan segera. Hal ini sering terabaikan pada pencatatan hasil laboratorium, sehingga menimbulkan kesalahan dalam proses pengobatan.


C.      Aspek Legal Dokumentasi
      ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan dokumentasi kebidanan agar dokumentasi tersebut menjadi legal,yaitu:

1.     Jangan menghapus menggunakan tipe-x atau mencoret tulisan yang salah ketika mencatat, karena gambaran akan nmerusak catatan. Yang benar adalah dengan membuat garis pada tulisan yang salah ,lalu diparaf kemudian tulis catatan yang benar
2.      Jangan menulis komentar yang bersifat mengkritik klien atau tentang kesehatan yang lain karena pernyataan tersebut dapat digunakan sebagai bukti prilaku yang tidak profesional atau asuhan yang tidak bermutu . Tulisan hanya uraian objektif tentang prilaku klien dan tindakan yang dilakukan oleh gtenaga kesehatan lainnya
3.      Koreksi semua kesalahan segera mungkin karena kesalahan menulis dapat diikuti dengan kesalahan tindakan. Jadi jangan tergesa-gesa melengkapi catatan, pas tikan informasi akurat
4.      Catatan hanya fakta, catatan harus akurat dan dapat dipercaya pasti apa jyang ditulis adalah fakta jangan berspekulasi atau menulis perkiraan saja
5.      Jangan biarkan bagian yang kosong pada catatan bidan, karena orang lain bisa menambahkan informasi yang tidak benar pada bagian yang kosong tersebut
6.      Semua catatan harus dibaca, ditulis dengan tinta. Bila tulisan sulit dibaca akan timbul suatu kesalahan penafsiran dan dapat dituntut secara hukum . Bila ditulis dengan pinsil tulisan dapat dihapus atau diganti, maka sebaiknya menggunakan tinta
7.       Jika ada instruksi atau pesan dokter / tim, sebelum dilakukan tindakan diklarifikasi dulu catat dengan hasilnya
8.     Untuk diri sendiri bukan untuk orang lain
9.      Hindari tulisan yang bersifat umum, tulisan harus lengkap, singkat dan padat
10.  Membuat dokumentasi dimulai dengan waktu dan diakhiri dengan tanda tangan, nama jelas.

D.      Manfaat  Dokumen Kebidanan
a. Sebagai dokumen yang sah
b. Sebagai sarana komunikasi antara tenaga kesehatan
c. Sebagai dokumen yang berharga untuk mengikuti perkembangan dan evaluasi pasien
d. Sebagai sumber data yang penting untuk penelitian dan pendidikan
e. Sebagai suatu sarana bagi bidan dalam pernanannya sebgai pembela (advocate) pasien, misalnya dengan catatan yang teliti pada penkajian dan pemeriksaan awal dapat membantu pasien misalnya pada kasus pengamiayaan, pemerkosaan, yang dapt membantu polisi dalam pengusutan dan pembuktian.







DAFTAR PUSTAKA

Varney, H. 1997. Varney’s Midwifery. FA Davis Company. Philadelelpia

 Kusnadi, D. Dokumentasi Catatan Medik (rekam medis) Rumah Sakit.

Depkes RI (pusdiknakes). 2001. Konsep Asuhan Kebidanan. Jakarta

Lawintono,L. 2000. Dokumentasi Kebidanan. St Carolus. Jakarta

makalah HIV




A.    Definisi
Sindrom imunidefisiensi yang di dapat (AIDS = Acquired immunideficiency syndrome) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh retrovirus yang dikenal dengan nama human T-cell lymphotropic virus (HIV). Virus tersebut bisa ditularkan melaui hubungan seksual, jarum suntik yang tercemar, transfusi darah atau bahan-bahan dari darah , atau secara perinatal dari ibu kepada bayinya.
Virus penyebab AIDS secara Virologik termasuk golongan Retrovirus, yang anggotanya dapat ditemukan pada semua kelas vertebrata termasuk manusia. Virus ini mengadakan reproduksi tanpa mematikan sel hospesnya. Beberapa jenis retrovirus mempunyai kemampuan sitosidal. Retrovirus juga dikenal karena kemampuanya untuk menginduksi terjadinya tumor.
Seseorang menderita AIDS, dalam tubuhnya terlebih dahulu terjadi kerusakan system kekebalan tubuh ini, penderita akan menjadi peka terhadap infeksi kuman yang dalam keadaan normal sebenarnya tidak berbahaya. Infeksi kuman ini disebut sebagai infeksi oportunistik.
  Kebanyakan pada kasus yang terjadi pada ibu hamil tidak bergejala dan masa laten berakhir rata-rata selama hampir 10 tahun. Setelah bergejala, harapan hidup tinggal 5 tahun atau kurang. Setiap tahun lahir sekurangnya 7000 bayi dari yang terinfeksi oleh HIV.
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

                                                                                              


Gambar Virus HIV



B.     Epidemiologi AIDS dan HIV
Sepuluh tahun setelah kasus pertama dikenal dan 7 tahun setelah penyebabnya diidentifikasi, AIDS tetap merupakan masalah kesehatan utama yang perlu mendapat perhatian diseluruh dunia.
Menurut CCD penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita, secara berurutan dari yang terbesar adalah pemakai obat injeksi terlarang 51%, wanita heteroseksual 34%, transfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%. Sekitar 85% dari wanita yang menderita AIDS tersebut berada dalam masa usia subur antara 15-44 tahun.
Gejala ginekologi sering kali menjadi tanda pertama dari infeksi HIV , tetapi gejala ini belium termasuk dalam kriteria CCD tentang infeksi AIDS sehingga para dokter tidak mencurugainya sebaga infeksi HIV.
Banyak wanita yang mengetahui status mereka melalui pemeriksaan prenatal, dalam keadaan ini adalah baik untuk memberikan nasehat tentang kehamilannya, baik itu berupa pemberhentian maupun kelanjutan kehamilan.
               (D.Muma Richard.dkk.1997.FFIV Manual Untuk tenaga Kesehatan.Jakarta:ECG)
     
      Tahap perkembangan Virus HIV AIDS
·         Stadium pertama: HIV
    • Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikut terjadinya perubahan serologik ketika nati-bodi terhadap virus tersebut dari negatif berubah menjadi positif. Rentangwaktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes anti-bodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period antara 1 sampai 3 bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai 6 bulan. Umumnya pada penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, bila tes bodi antibodi menjadi positif berarti di dalam tubuh terdapat cukup zat anti yang dapat melawan virus tersebut. Kesimpulan tersebut berbeda pada infeksi HIV karena adanya zat anti di dalam tubuh bukan berarti bahwa tubuh dapat melawan infeksi HIV tetapi sebaliknya menunjukan bahwa di dalam tubuh tersebut terdapat HIV.

  • Stadium kedua: Asimptomatik (tanpa gejala)
    • Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh ODHA yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.

  • Stadium ketiga: Pembesaran Kelenjar Limfe
    • Fase ini ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (Persistent Generalized Lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat dan berlangsung lebih dari satu bulan.

  • Stadium keempat: AIDS
    • Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit syaraf, danpenyakit infeksi sekunder.
Oxorn,Harry.1996. Ilmu Kebidanan Fisiologi & Patologi Persalinan. Jakarta : Essentia Medica


C.Faktor Resiko Penularan

1. Dalam Kehamilan
Selama kehamilan, banyak perubahan ”peraturan” dalam pengobatan penyakit HIV. Dalam populasi yang tidak diobati risiko absolut standar penularan ibu kepada anak (mother-to-child transmission, MTCT) tanpa menyusui sebanyak 25 persen. Sekitar 5 sampai 10 persen adalah antepartum, dan sampai 20 persen intrapartum. Menyusui menambah risiko absolut penularan 5 sampai 15 persen.

Penatalaksanaan biasanya seperti tertulis disini untuk menunda awitan terapi antiretrovirus pada orang dewasa sampai hitung CD4 menurun sampai 350 sel/mm3 ataukurang, terapi untuk pencegahan MTCT ditujukan untuk mempertahankan muatan virus yang tidak terdeteksi tanpa memperhatikan hitung CD4. Rasionalnya adalah tingkat virus secara langsung berkaitand engan infeksi. Walaupun sebagian besar infeksi perinatal (66 sampai 75 persen) terjadi disekitar waktu melahirkan, porsi tetap telah terjadi saat antenatal. Banyak faktor yang mempengaruhi risiko penularan selama kehamilan danmelahirkan. Muatan virus yang meningkat, perkembangan klinis penyakit, koninfeksi dengan PMS, hepatitis C dan penyakit lain, penyalahgunaan zat, merokok, banyak pasangan seksual dan hubungan seksual tanpa pelindung, kelahiran prematur, korioamnionitis, dan pemantauan atau uji janin invasif, dalah beberapa faktor yang meningkatkan risiko MTCT. Muatan virus juga bervariasi diantara kompartemen tubuh, sehingga tingkat darah HIV mungkin tidak secara langsung berkorelasi dengan sekresi serviks, walaupun keduanya muncul dengan perilaku sama.
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

2. Dalam Perinatal
Risiko penularan vertikal disertai oleh penyakit tingkat lanjut, hitung limfosit CD4 (T4) rendah, dan beban virus meningkat. Risiko penularan 8-30%. Penularan virus dapat diisolir dari air susu wanita yang terinfeksi, dan menyusui bisa dipersalahkan sebagai cara penularan. Terjadi peningkatan dari keguguran spontan, berat badan lahir rendah, ketuban pecah didni, dan pertus prematurus. Sindrom dismofik pada infeksi HIV inrauterin telah didapatkan pada bayi=bayi dan anak-anak dengan uji coba serologi posoif. Telah pula dilihar kelainan-kelainan kranifosial, retradasi pertumbuhan, dan mikrosefali.
P-4 telah membuat rekomendasi yang ditunjukan untuk menurunkan risiko penularan perintal. Semua wanita harus dikonsultalsikan sehubungan dengan uji-coba antibodi bilamana mereka hamil (atau bisa jadi hamil). Kelompok wanita berikut adalah golongan risikko tinggi terinfeksi : penyalahgunaan obat melalui suntikan intravena,mereka yang lahir di negara-negara tempat penularan hetroseksual memegang peranan besar; wanita tunasusila; mereka yang menjadi teman kencan dari penyalahgunaan obat melalui suntikan, pria biseksual, pria hemofila, pria yang lahir di negara-negara yang penularannya heteroseksual diperkirakan memegang peran besar, atau pria yang jelas terinfeksi dengan HIV
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG).


D.    Pencegahan
Sampai saat ini helum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan AIDS, belum ada vaksin yang dapat mencegah terjadinya AIDS, dan belum ada metode yang terbukti dapat menghilangkan infeksi pada karier HIV. Karena alasan ini, segala usaha harus dilakukan untuk mencegah transmisi HIV.
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

·                     Cara Transmisi
Cara transmisi HIV yang paling sering adalah melalui hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi dan kontak dengan darah yang telah terkontaininasi, terutama melalui penggunaan jarum suntik secara bersama-sama di antara pengguna obat-obat bius melalui intravena. Belum ada bukti yang menyatakan bahwa kontak yang tidak disengaja inisalnya melalui makanan, gelas dan piring, kamar mandi atau bersin dapat menyebabkan infeksi AIDS. Walaupun HIV telah dapat diisolasi dan cairan dan jaringan tubuh seperti darah, semen, saliva, air mata, ASI, urine, kelenjar limfe, jaringan otak, cairan serebrospinalis, dan sumsum tulang, tetapi hanya darah dan semen yang merupakan cairan tubuh yang menjadi tempat herkumpulnya virus ini dengan konsentrasi sedang sampai tinggi dan tampaknya merupakan cairan tubuh yang diketahui secara epideiniologi berkaitan dengan transmisi infeksi HIV.
Karena segala sesuatunya yang berhubungan dengan infeksi HIV masih belum jelas, maka perlu kiranya untuk selalu berhati-hati terhadap, semua cairan, jaringan, sekresi, dan ekskresi yang berasal dan pasien sebagai sesuatu yang  bersifat infeksius, terutama jika mengandung darah. Penggunaan alat-alat secara parenteral dan membran mukosa yang telah bersentuhan dengan zat-zat di atas harus dihindari. Petunjuk pengguraan darah dan cairan tubuh yang baru menyebutkan bahwa semua cairan tubuh yang berasal dari pasien yang menderita penyakit apapun harus diperlakukan sebagai zat yang dapat menyebabkan infeksi.

·         Menurunkan Resiko Penularan HIV
Petunjuk untuk rnengurangi risiko terpapar oleh darah dan cairan tubuh telah disusin oleh the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan the Occupational Safety and Health Ad- ininistration (OSHA). Petunjuk ini sangat berguna untuk menu- run kan transmisi HIV dan VHI3 pada individu dan tenaga kesehatan.

·                           Penurunan Resiko pada Individu
Banyak metode telah dianjurkan dilakukan untuk menurunkan terjadinya risiko transmisi HIV. Secara keseluruhan, pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang bcnar mengenai patofisiologi HIV dan transmisinya sangat penting diketahui oleh tiap orang terutama mengenai fakta penyakit dan prilaku yang dapat membantu mencegah penyebarannya. Individu yang melakukan paling sedikit salah satu dan perilaku di bawah ini mempunyai risiko untuk mentransmisikan HIV: hubungan seks melalui anus, hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti, pengguna obat-ohat bius terlarang dengan menggunakan suntikan, pengobatan medis dengan menggunakan darah dan produknya, atau berhuhungan seks dengan orang yang melakukan salah satu tindakan-tindakan tcrsebut di atas. Bayi mempunyai risiko terinfeksi melalui transmisi dan ibu yang terinfeksi HIV saat masih dikandungan, saat lahir maupun setelah         kelahiran.
Mempunyai pasangan seksual yang lebih dan satu, heteroseksual dan /atau homoseksual juga harus dipertimbangkan sebagai perilaku yang berisiko.
Bagi pengguna obat-obat terlarang dengin memakai suntikan, risiko yang timbul berasal dari kontak dengan darah karena penggunaan jarum suntik secara bersamaan dan /atau penggunaan jarum suntik hipoderinik secara berulang. Yang termasuk dengan pemakai obat-obat melalui suntikan adalah setiap cara pemakaian obat yang masuk ke tubuh melalui pengerusakan kulit oleh jarum suntik termasuk intravena, intraarterial intramuskular, dan subdermal. Pasien yang menggunakan obat-obat melalui suntikan perlu mendapat pengetahuan mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan oleh pasien yang termotivasi untuk menghentikan penggunaan obat-obat tersebut. Bila pasien tidak dapat atau tidak ingin menghentikan penggunaan obat-obat dengan suntikan, perlu beberapa tindakan pencegahan yang dapat membantu menurunkan penyebaran HIV seperti tidak menggunakan alat suntik secara bersamasama, membersihkan alat suntik dengan cairan pembersih atau mengganti jarum suntik. Mereka yang terlibat dalam prostitusi dan juga menggunakan obat-obat dengan suntikan mempunyai risiko yang lebih tinggi daripada pengguna obat-obat saja.
Ada kelompok masyarakat tertentu yang tidak terlibat dengan kebiasaan yang berbahaya, tetapi tetap mempunyai risiko untuk mendapatkan HIV karena pasangan seksual mereka mempunyai perilaku yang berisiko. Pencegahan HIV pada kelompok ini adalah dangan memberikan pengetahuan mengenai kemungkinan risiko yang timbul dan pasangan seksual mereka. Untuk Semua orang yang mempunyai riwayat aktivitas homoseksual akhir-akhir ini atau di masa lalu, mernpunyai pasangan seksual yang banyak, pengguna obat-obat dengan suntikan, dan/atau mendapat pengohatan dengan darah atau produknya, penggunaan tekrik seks yang aman dengan pasangan seksualnya dapat membantu menccgah penyeharan HIV,  Pantangan terhadap aktivitas seksual merupakan satu-satunya metode yang paling aman untuk mencegah transmisi HIV melalui hubungan seksual. Tetapi karena cara ini tidak disukai, maka metode pencegahan yang disebut dengan istilah teknik seks yang aman telah diperkenalkan. Walaupun penggunaan teknik seks yang aman tidak akan mencegah transmisi HIV secara menyeluruh, tetapi cara ini dapat digunakan sebagai perlindungan. Yang dimaksudkan dengan teknik seks yang aman antara lain adalah dengan menghindari aktivitas seksual yang berisiko termasuk hubungan intim melalui anal atau vagina, penggunaan kondom yang terbuatdari lateks selama melakukan aktivitas seksual yang berisiko, penggunaan sperimisida nonoksinol-9, dan pemijatan  serta sentuhan.
Pasien yang telah mendapatkan pengobatan dengan transfusi darah atau produknya mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi HIV. Sampai dengan akhir tahun 1985, kebutuhan darah yang diperoleh melalui donor pada umumnya tidak di tes secara adekuat tintuk mengetahui adanya antibodi HIV. Sebagai tambahan, pemberian faktor pembeku darah pada penderita hemofilia juga tidak diperiksa untuk mengetahui adanya HIV. Sebagai akibatnya, setiap pasien yang membutuhkan transfusi darah atau mendapat faktor pembeku darah, karena kurang hati-hati terinfeksi oleh HIV. Semenjak dilakukan pemeriksaan antibodi HIV pada pendonor darah yang ingin menyumbangkan darahnya dan dilakukan pemeriksaan pada darah simpanan yang akan digunakan, risiko terjadinya transmisi HIV menurun banyak dengan angka kejadian antara 1/40.000 – 1/150.000 unit infus pada tahun 19891. Pasien yang menerima transfusi darah di tahun 1985, sedang menunggu keadaan status HIV nya, sebaiknya tidak melakukan kontak seksual atau menggunakan teknik seks yang aman. Karena masih adanya sisa risiko transmisi HIV melalui transfusi darah, pasien yang baru- baru ini menerima transfusi darah juga perlu melakukan tindakan di atas. Untuk pasien yang membutuhkan transfusi darah atau faktor pembeku darah di masa yang akan datang, metode pencegahan yang dilakukan mencakup beberapa pilihan termasuk di dalamnya menyimpan darah sendiri sebelum operasi, hemodilusi, penyelamatan darah pada periode perioperatif, dan penggunaan  ekombinan faktor pembeku darah, rokombinan faktor periumbuhan hematopoietik, dan pengganti sel darah merah.
Transmisi HIV ke fetus dan bayi baru lahir mungkin saja terjadi. Bagi wanita yang diketahui menderita positif HIV, metode pencegahan yang perlu dilakukan ermasuk penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan tidak memberikan ASI pada bayinya. Wanita usia subur yang menunjukkan aktivitas seksual yang aktif harus memahami benar risiko terjadinya transmisi HIV pada anaknya di masa yang akan datang dan Sebaiknya menggunakan teknik seks yang ainan untuk menjaga agar tidak terinfeksi. Penjelasau yang lebih rinci mengenai transmisi HIV dan ibu kepada anaknya dapat dibeca pada bab-13.
Pengurangan Risiko Terhadap Tenaga Kesehatan
Bagi tenaga kesehatan, petunjuk yang dikeluarkan oleh OSHA2 menginformasikan tindakan pencegahan antara lain penggunaan alat perlindungan pribadi dapat menurunkari risiko terkena darah atau bahan-bahan lain yang mungkin infeksius. Mat yang dianjurkan untuk digunakan antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pclindung muka atau masker, dan pelindung mata. Pilihan alat tersebut harus tepat sesuai dengan kebutuhan aktivitas pekerjaai yang dilakukan oeh teraga kesehatan. Jika tenaga kesehatan mcmpunyai tugas yang menyebahkan terjadinya kontak dengan darah dan bahan-bahan infeksius lainnya, maka penggunaan baju elindung sangat diprlukan. Untuk melaksanakan tugas-tugasnya, penggunaan sarung tangan sekali pakai adalah ti ndakan yang tepat. Sarung tangan yang terbuat dan lateks ini langsung dibuang setelah sekali digunakan. Jika tenaga kesehatan tersebut alergi tehadap bahan lateks, dapatjuga digunakan sarung tangan hipoalergi. Sarung tangan perlu dipakai pada hampir semua situasi yang membutuhkar. tindakan flebotoini. Satt’-satunya pengecualian adalah di pusat donor darah.

kebutuhan darurat untuk di!akukannya resusitasi, maka alat bantu mulut, kantung resusitasi, atau alat-alat bantu resusitasi lainnya harus tersedia. Dalam keadaan dimana kulit atau membran mukosa bersenfthan dengan cairan tubuh yang secara potensial dapat menimbulkan infeksi, bagian tuhuh yang beusentuhan tadi dibilas dengan sabun dan air. Jika terjadi kontak dengan niata, irigasi dengan air secara berulang-ulang sangat dianjurkan. Jika tenaga kesehatan terpapar secara parentera, tertusukjarum suntik, tergores pisau bedah, atau paparan pada membran mukosa, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhaap HIV dan hepatitis.
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

DAFTAR PUSTAKA



(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

(D.Muma Richard.dkk.1997.FFIV Manual Untuk tenaga Kesehatan.Jakarta:ECG)


































TUGAS GYNEKOLOGI
“ HIV & AIDS“


Disusun Oleh : Kelompok 14

1.     Ratu Maya Arsila          11242020
2.     Recy Novalia Sari                   11242021

Kelas : Tingkat II Reguler



 

 

 

 

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN METRO
TAHUN 2012

INFEKSI HIV
(HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS)


A.    Definisi
Sindrom imunidefisiensi yang di dapat (AIDS = Acquired immunideficiency syndrome) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh retrovirus yang dikenal dengan nama human T-cell lymphotropic virus (HIV). Virus tersebut bisa ditularkan melaui hubungan seksual, jarum suntik yang tercemar, transfusi darah atau bahan-bahan dari darah , atau secara perinatal dari ibu kepada bayinya.
Virus penyebab AIDS secara Virologik termasuk golongan Retrovirus, yang anggotanya dapat ditemukan pada semua kelas vertebrata termasuk manusia. Virus ini mengadakan reproduksi tanpa mematikan sel hospesnya. Beberapa jenis retrovirus mempunyai kemampuan sitosidal. Retrovirus juga dikenal karena kemampuanya untuk menginduksi terjadinya tumor.
Seseorang menderita AIDS, dalam tubuhnya terlebih dahulu terjadi kerusakan system kekebalan tubuh ini, penderita akan menjadi peka terhadap infeksi kuman yang dalam keadaan normal sebenarnya tidak berbahaya. Infeksi kuman ini disebut sebagai infeksi oportunistik.
  Kebanyakan pada kasus yang terjadi pada ibu hamil tidak bergejala dan masa laten berakhir rata-rata selama hampir 10 tahun. Setelah bergejala, harapan hidup tinggal 5 tahun atau kurang. Setiap tahun lahir sekurangnya 7000 bayi dari yang terinfeksi oleh HIV.
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

                                                                                              


Gambar Virus HIV



B.     Epidemiologi AIDS dan HIV
Sepuluh tahun setelah kasus pertama dikenal dan 7 tahun setelah penyebabnya diidentifikasi, AIDS tetap merupakan masalah kesehatan utama yang perlu mendapat perhatian diseluruh dunia.
Menurut CCD penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita, secara berurutan dari yang terbesar adalah pemakai obat injeksi terlarang 51%, wanita heteroseksual 34%, transfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%. Sekitar 85% dari wanita yang menderita AIDS tersebut berada dalam masa usia subur antara 15-44 tahun.
Gejala ginekologi sering kali menjadi tanda pertama dari infeksi HIV , tetapi gejala ini belium termasuk dalam kriteria CCD tentang infeksi AIDS sehingga para dokter tidak mencurugainya sebaga infeksi HIV.
Banyak wanita yang mengetahui status mereka melalui pemeriksaan prenatal, dalam keadaan ini adalah baik untuk memberikan nasehat tentang kehamilannya, baik itu berupa pemberhentian maupun kelanjutan kehamilan.
               (D.Muma Richard.dkk.1997.FFIV Manual Untuk tenaga Kesehatan.Jakarta:ECG)
     
      Tahap perkembangan Virus HIV AIDS
·         Stadium pertama: HIV
    • Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikut terjadinya perubahan serologik ketika nati-bodi terhadap virus tersebut dari negatif berubah menjadi positif. Rentangwaktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes anti-bodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period antara 1 sampai 3 bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai 6 bulan. Umumnya pada penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, bila tes bodi antibodi menjadi positif berarti di dalam tubuh terdapat cukup zat anti yang dapat melawan virus tersebut. Kesimpulan tersebut berbeda pada infeksi HIV karena adanya zat anti di dalam tubuh bukan berarti bahwa tubuh dapat melawan infeksi HIV tetapi sebaliknya menunjukan bahwa di dalam tubuh tersebut terdapat HIV.

  • Stadium kedua: Asimptomatik (tanpa gejala)
    • Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh ODHA yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.

  • Stadium ketiga: Pembesaran Kelenjar Limfe
    • Fase ini ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (Persistent Generalized Lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat dan berlangsung lebih dari satu bulan.

  • Stadium keempat: AIDS
    • Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit syaraf, danpenyakit infeksi sekunder.
Oxorn,Harry.1996. Ilmu Kebidanan Fisiologi & Patologi Persalinan. Jakarta : Essentia Medica


C.Faktor Resiko Penularan

1. Dalam Kehamilan
Selama kehamilan, banyak perubahan ”peraturan” dalam pengobatan penyakit HIV. Dalam populasi yang tidak diobati risiko absolut standar penularan ibu kepada anak (mother-to-child transmission, MTCT) tanpa menyusui sebanyak 25 persen. Sekitar 5 sampai 10 persen adalah antepartum, dan sampai 20 persen intrapartum. Menyusui menambah risiko absolut penularan 5 sampai 15 persen.

Penatalaksanaan biasanya seperti tertulis disini untuk menunda awitan terapi antiretrovirus pada orang dewasa sampai hitung CD4 menurun sampai 350 sel/mm3 ataukurang, terapi untuk pencegahan MTCT ditujukan untuk mempertahankan muatan virus yang tidak terdeteksi tanpa memperhatikan hitung CD4. Rasionalnya adalah tingkat virus secara langsung berkaitand engan infeksi. Walaupun sebagian besar infeksi perinatal (66 sampai 75 persen) terjadi disekitar waktu melahirkan, porsi tetap telah terjadi saat antenatal. Banyak faktor yang mempengaruhi risiko penularan selama kehamilan danmelahirkan. Muatan virus yang meningkat, perkembangan klinis penyakit, koninfeksi dengan PMS, hepatitis C dan penyakit lain, penyalahgunaan zat, merokok, banyak pasangan seksual dan hubungan seksual tanpa pelindung, kelahiran prematur, korioamnionitis, dan pemantauan atau uji janin invasif, dalah beberapa faktor yang meningkatkan risiko MTCT. Muatan virus juga bervariasi diantara kompartemen tubuh, sehingga tingkat darah HIV mungkin tidak secara langsung berkorelasi dengan sekresi serviks, walaupun keduanya muncul dengan perilaku sama.
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

2. Dalam Perinatal
Risiko penularan vertikal disertai oleh penyakit tingkat lanjut, hitung limfosit CD4 (T4) rendah, dan beban virus meningkat. Risiko penularan 8-30%. Penularan virus dapat diisolir dari air susu wanita yang terinfeksi, dan menyusui bisa dipersalahkan sebagai cara penularan. Terjadi peningkatan dari keguguran spontan, berat badan lahir rendah, ketuban pecah didni, dan pertus prematurus. Sindrom dismofik pada infeksi HIV inrauterin telah didapatkan pada bayi=bayi dan anak-anak dengan uji coba serologi posoif. Telah pula dilihar kelainan-kelainan kranifosial, retradasi pertumbuhan, dan mikrosefali.
P-4 telah membuat rekomendasi yang ditunjukan untuk menurunkan risiko penularan perintal. Semua wanita harus dikonsultalsikan sehubungan dengan uji-coba antibodi bilamana mereka hamil (atau bisa jadi hamil). Kelompok wanita berikut adalah golongan risikko tinggi terinfeksi : penyalahgunaan obat melalui suntikan intravena,mereka yang lahir di negara-negara tempat penularan hetroseksual memegang peranan besar; wanita tunasusila; mereka yang menjadi teman kencan dari penyalahgunaan obat melalui suntikan, pria biseksual, pria hemofila, pria yang lahir di negara-negara yang penularannya heteroseksual diperkirakan memegang peran besar, atau pria yang jelas terinfeksi dengan HIV
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG).


D.    Pencegahan
Sampai saat ini helum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan AIDS, belum ada vaksin yang dapat mencegah terjadinya AIDS, dan belum ada metode yang terbukti dapat menghilangkan infeksi pada karier HIV. Karena alasan ini, segala usaha harus dilakukan untuk mencegah transmisi HIV.
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

·                     Cara Transmisi
Cara transmisi HIV yang paling sering adalah melalui hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi dan kontak dengan darah yang telah terkontaininasi, terutama melalui penggunaan jarum suntik secara bersama-sama di antara pengguna obat-obat bius melalui intravena. Belum ada bukti yang menyatakan bahwa kontak yang tidak disengaja inisalnya melalui makanan, gelas dan piring, kamar mandi atau bersin dapat menyebabkan infeksi AIDS. Walaupun HIV telah dapat diisolasi dan cairan dan jaringan tubuh seperti darah, semen, saliva, air mata, ASI, urine, kelenjar limfe, jaringan otak, cairan serebrospinalis, dan sumsum tulang, tetapi hanya darah dan semen yang merupakan cairan tubuh yang menjadi tempat herkumpulnya virus ini dengan konsentrasi sedang sampai tinggi dan tampaknya merupakan cairan tubuh yang diketahui secara epideiniologi berkaitan dengan transmisi infeksi HIV.
Karena segala sesuatunya yang berhubungan dengan infeksi HIV masih belum jelas, maka perlu kiranya untuk selalu berhati-hati terhadap, semua cairan, jaringan, sekresi, dan ekskresi yang berasal dan pasien sebagai sesuatu yang  bersifat infeksius, terutama jika mengandung darah. Penggunaan alat-alat secara parenteral dan membran mukosa yang telah bersentuhan dengan zat-zat di atas harus dihindari. Petunjuk pengguraan darah dan cairan tubuh yang baru menyebutkan bahwa semua cairan tubuh yang berasal dari pasien yang menderita penyakit apapun harus diperlakukan sebagai zat yang dapat menyebabkan infeksi.

·         Menurunkan Resiko Penularan HIV
Petunjuk untuk rnengurangi risiko terpapar oleh darah dan cairan tubuh telah disusin oleh the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan the Occupational Safety and Health Ad- ininistration (OSHA). Petunjuk ini sangat berguna untuk menu- run kan transmisi HIV dan VHI3 pada individu dan tenaga kesehatan.

·                           Penurunan Resiko pada Individu
Banyak metode telah dianjurkan dilakukan untuk menurunkan terjadinya risiko transmisi HIV. Secara keseluruhan, pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang bcnar mengenai patofisiologi HIV dan transmisinya sangat penting diketahui oleh tiap orang terutama mengenai fakta penyakit dan prilaku yang dapat membantu mencegah penyebarannya. Individu yang melakukan paling sedikit salah satu dan perilaku di bawah ini mempunyai risiko untuk mentransmisikan HIV: hubungan seks melalui anus, hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti, pengguna obat-ohat bius terlarang dengan menggunakan suntikan, pengobatan medis dengan menggunakan darah dan produknya, atau berhuhungan seks dengan orang yang melakukan salah satu tindakan-tindakan tcrsebut di atas. Bayi mempunyai risiko terinfeksi melalui transmisi dan ibu yang terinfeksi HIV saat masih dikandungan, saat lahir maupun setelah         kelahiran.
Mempunyai pasangan seksual yang lebih dan satu, heteroseksual dan /atau homoseksual juga harus dipertimbangkan sebagai perilaku yang berisiko.
Bagi pengguna obat-obat terlarang dengin memakai suntikan, risiko yang timbul berasal dari kontak dengan darah karena penggunaan jarum suntik secara bersamaan dan /atau penggunaan jarum suntik hipoderinik secara berulang. Yang termasuk dengan pemakai obat-obat melalui suntikan adalah setiap cara pemakaian obat yang masuk ke tubuh melalui pengerusakan kulit oleh jarum suntik termasuk intravena, intraarterial intramuskular, dan subdermal. Pasien yang menggunakan obat-obat melalui suntikan perlu mendapat pengetahuan mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan oleh pasien yang termotivasi untuk menghentikan penggunaan obat-obat tersebut. Bila pasien tidak dapat atau tidak ingin menghentikan penggunaan obat-obat dengan suntikan, perlu beberapa tindakan pencegahan yang dapat membantu menurunkan penyebaran HIV seperti tidak menggunakan alat suntik secara bersamasama, membersihkan alat suntik dengan cairan pembersih atau mengganti jarum suntik. Mereka yang terlibat dalam prostitusi dan juga menggunakan obat-obat dengan suntikan mempunyai risiko yang lebih tinggi daripada pengguna obat-obat saja.
Ada kelompok masyarakat tertentu yang tidak terlibat dengan kebiasaan yang berbahaya, tetapi tetap mempunyai risiko untuk mendapatkan HIV karena pasangan seksual mereka mempunyai perilaku yang berisiko. Pencegahan HIV pada kelompok ini adalah dangan memberikan pengetahuan mengenai kemungkinan risiko yang timbul dan pasangan seksual mereka. Untuk Semua orang yang mempunyai riwayat aktivitas homoseksual akhir-akhir ini atau di masa lalu, mernpunyai pasangan seksual yang banyak, pengguna obat-obat dengan suntikan, dan/atau mendapat pengohatan dengan darah atau produknya, penggunaan tekrik seks yang aman dengan pasangan seksualnya dapat membantu menccgah penyeharan HIV,  Pantangan terhadap aktivitas seksual merupakan satu-satunya metode yang paling aman untuk mencegah transmisi HIV melalui hubungan seksual. Tetapi karena cara ini tidak disukai, maka metode pencegahan yang disebut dengan istilah teknik seks yang aman telah diperkenalkan. Walaupun penggunaan teknik seks yang aman tidak akan mencegah transmisi HIV secara menyeluruh, tetapi cara ini dapat digunakan sebagai perlindungan. Yang dimaksudkan dengan teknik seks yang aman antara lain adalah dengan menghindari aktivitas seksual yang berisiko termasuk hubungan intim melalui anal atau vagina, penggunaan kondom yang terbuatdari lateks selama melakukan aktivitas seksual yang berisiko, penggunaan sperimisida nonoksinol-9, dan pemijatan  serta sentuhan.
Pasien yang telah mendapatkan pengobatan dengan transfusi darah atau produknya mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi HIV. Sampai dengan akhir tahun 1985, kebutuhan darah yang diperoleh melalui donor pada umumnya tidak di tes secara adekuat tintuk mengetahui adanya antibodi HIV. Sebagai tambahan, pemberian faktor pembeku darah pada penderita hemofilia juga tidak diperiksa untuk mengetahui adanya HIV. Sebagai akibatnya, setiap pasien yang membutuhkan transfusi darah atau mendapat faktor pembeku darah, karena kurang hati-hati terinfeksi oleh HIV. Semenjak dilakukan pemeriksaan antibodi HIV pada pendonor darah yang ingin menyumbangkan darahnya dan dilakukan pemeriksaan pada darah simpanan yang akan digunakan, risiko terjadinya transmisi HIV menurun banyak dengan angka kejadian antara 1/40.000 – 1/150.000 unit infus pada tahun 19891. Pasien yang menerima transfusi darah di tahun 1985, sedang menunggu keadaan status HIV nya, sebaiknya tidak melakukan kontak seksual atau menggunakan teknik seks yang aman. Karena masih adanya sisa risiko transmisi HIV melalui transfusi darah, pasien yang baru- baru ini menerima transfusi darah juga perlu melakukan tindakan di atas. Untuk pasien yang membutuhkan transfusi darah atau faktor pembeku darah di masa yang akan datang, metode pencegahan yang dilakukan mencakup beberapa pilihan termasuk di dalamnya menyimpan darah sendiri sebelum operasi, hemodilusi, penyelamatan darah pada periode perioperatif, dan penggunaan  ekombinan faktor pembeku darah, rokombinan faktor periumbuhan hematopoietik, dan pengganti sel darah merah.
Transmisi HIV ke fetus dan bayi baru lahir mungkin saja terjadi. Bagi wanita yang diketahui menderita positif HIV, metode pencegahan yang perlu dilakukan ermasuk penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan tidak memberikan ASI pada bayinya. Wanita usia subur yang menunjukkan aktivitas seksual yang aktif harus memahami benar risiko terjadinya transmisi HIV pada anaknya di masa yang akan datang dan Sebaiknya menggunakan teknik seks yang ainan untuk menjaga agar tidak terinfeksi. Penjelasau yang lebih rinci mengenai transmisi HIV dan ibu kepada anaknya dapat dibeca pada bab-13.
Pengurangan Risiko Terhadap Tenaga Kesehatan
Bagi tenaga kesehatan, petunjuk yang dikeluarkan oleh OSHA2 menginformasikan tindakan pencegahan antara lain penggunaan alat perlindungan pribadi dapat menurunkari risiko terkena darah atau bahan-bahan lain yang mungkin infeksius. Mat yang dianjurkan untuk digunakan antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pclindung muka atau masker, dan pelindung mata. Pilihan alat tersebut harus tepat sesuai dengan kebutuhan aktivitas pekerjaai yang dilakukan oeh teraga kesehatan. Jika tenaga kesehatan mcmpunyai tugas yang menyebahkan terjadinya kontak dengan darah dan bahan-bahan infeksius lainnya, maka penggunaan baju elindung sangat diprlukan. Untuk melaksanakan tugas-tugasnya, penggunaan sarung tangan sekali pakai adalah ti ndakan yang tepat. Sarung tangan yang terbuat dan lateks ini langsung dibuang setelah sekali digunakan. Jika tenaga kesehatan tersebut alergi tehadap bahan lateks, dapatjuga digunakan sarung tangan hipoalergi. Sarung tangan perlu dipakai pada hampir semua situasi yang membutuhkar. tindakan flebotoini. Satt’-satunya pengecualian adalah di pusat donor darah.

kebutuhan darurat untuk di!akukannya resusitasi, maka alat bantu mulut, kantung resusitasi, atau alat-alat bantu resusitasi lainnya harus tersedia. Dalam keadaan dimana kulit atau membran mukosa bersenfthan dengan cairan tubuh yang secara potensial dapat menimbulkan infeksi, bagian tuhuh yang beusentuhan tadi dibilas dengan sabun dan air. Jika terjadi kontak dengan niata, irigasi dengan air secara berulang-ulang sangat dianjurkan. Jika tenaga kesehatan terpapar secara parentera, tertusukjarum suntik, tergores pisau bedah, atau paparan pada membran mukosa, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhaap HIV dan hepatitis.
(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

DAFTAR PUSTAKA



(Wlliam F.Rayburn.2001.Obstetri & Ginekologi.Jakarta:ECG)

(D.Muma Richard.dkk.1997.FFIV Manual Untuk tenaga Kesehatan.Jakarta:ECG)